Monday 7 July 2014

Still Some Nice Highlights of Strasbourg

I thought I’ve maybe spent too much time in Strasbourg or I'm not smart enough to arrange a story cause I’d already wrote three posts, but I’m now starting the fourth, haha... This is really will be the last post about the city, to complete the previous stories posted, promise!!! :)
One experience that I hardly forget is when I was stepping up to the top of Cathedral. It happened because of my silliness on buying the ticket. So, what I actually intended to do is watching the movie about the famous astronomical clock. But, due to a vacation laziness atmosphere which brings me to lack of research condition, I did not know that they sell the ticket only in a very specific time (couple hours before the movie starts). I lined up to the queue, not too long, and I was quite happy because they have a student price so I just needed to pay 2,5 euro instead of 5 euro. And still I didn't realize that I bought a “wrong” ticket.
Soon after I got the ticket, the staff showed me a small door which led me to a dark room with a stair. So here I went, starting the (apparently) exhausting 330 steps to the top. And no, the way up is different with the way down, too narrow also, so there's no way back until I got to the top.


took this photo when I was going downstairs after catching some fresh air on the top of Cathedral

For a less-sportive person like me, who's already proud of claiming small walking everyday as a sport activity, this 330 steps really drew my breath out. It's even embarassing myself since I took a time to rest for a minute just to catch my breath while some people who are much older or much younger (there were below 10 y.o) were passing me effortlessly. Some of them asking me "ça va?", are you okay? I was tempted to reply NOOO, I'M NOOOT, PLEASE TAKE ME UP THERE... but I thank God for not letting me to do that >.<

took this photo from the "window"

I was glad when one of them looked down to my position and told me, it's already close, you just need a few steps more. Another embarrassing moment but I thanked him, then I "finished my duty". And these some of what I've got:


the green path for tram

the upper tower


the writing in the wall, I don't know which language it is


the Saint Paul church, for me it's the most fotogenic part of the city

the parliament building
Is it worth the effort to climb? I must say no, haha, but the experience itself is unforgettable and that's the more essential side of doing travel. So, I dare you to try! :D

Enough about cathedral, this is Saint Paul church from front view, I was lucky since I passed this building whenever I started my day from the tram station located in front of it. So I've got lots of captures!
on a cloudy day

with the tram

with a perfect sky

with the shining lights

La France, tu me manques!




Monday 17 February 2014

Ke(me)lud di Pikiran - 7 Hal yang Perlu Dipertimbangkan Ketika Terjadi Bencana

Meletusnya Gunung Kelud beberapa hari lalu membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana sebaiknya bersikap ketika terjadi bencana. Saya sendiri tidak merasakan secara langsung, tetapi banyak keluarga dan teman-teman saya tinggal di Kota dan Kabupaten Kediri, sekitar 30-40 km dari Kelud. Mereka pun (syukurlah) bukan merupakan korban langsung yang harus mengungsi, tetapi mereka ikut terkena dampak cukup parah karena lontaran kerikil dan pasir. Iya, kerikil dan pasir. Bukan abu.

Trust me, it’d make the whole things significantly different once the disaster happens to your hometown

Mungkin terdengar klise atau “ya iyalah, menurut ngana?”...ya ternyata saya baru benar-benar merasakan bedanya. Saya sedih, bersimpati, dan berusaha membantu sebisa saya ketika terjadi tsunami Aceh, Merapi meletus, banjir Manado, atau Sinabung meletus. Tapi saya masih bisa tidur nyenyak. Ketika hal serupa terjadi di Kelud, saya tidak lagi sedih tapi panik setengah mati, tegang, khawatir jadi satu. Selalu memantau berita dan update informasi sekecil apapun. Kalau kalian nonton Harry Poter, ada potongan scene ketika Harry, Ron, Hermione sembunyi dari Death Eater dan Ron selalu tegang fokus pada berita di radio untuk memastikan keluarganya baik-baik saja. Ya kira-kira seperti itu deh.  
Karena Kelud pula, saya jadi lebih peka dengan reaksi orang-orang lain. Sebagian menyenangkan, ada juga yang agak ganggu. There it goes, I share my point of view:

1.   Do help them, or shut up
Beberapa kali saya dengar komentar yang membandingkan antara bencana di sini dan di sono. Bagaimana seharusnya sikap yang diambil Presiden, bagaimana proporsi media memberitakan keduanya, ke mana sebaiknya bantuan disalurkan, beeeeeermacam-macam. Familiar dengan kalimat seperti: "Pak SBY responnya lemot banget deh di Sinabung padahal udah sampe kaya gitu, padahal dulu di Merapi...dekat sama kampungnya kali ya...dll". Well, daripada sinis menganalisis ini-itu, mendingan tenaganya disalurkan untuk membantu yang menurut kita perlu dibantu. Kalau di sono dirasa kurang perhatian dan di situ sudah berlimpahan atensi, ya silakan ulurkan tangan bantu yang di sono tanpa perlu mencibir mereka yang membantu di situ. Mungkin juga toh mereka-mereka yang dicibir itu malah membantu di mana-mana. If we can't say something nice, don't say anything at all. So, just help, otherwise just shut up.

2.   Don’t be too critical but less thoughtful
Be critical is good, but I guess we agreed that nothing good comes with ‘too’. Sehari setelah Kelud meletus, ada seorang teman yang bertanya “sudah ada korban jiwa belum?”. Saya jawab BELUM DAN SEMOGA TIDAK ADA. Newsflash: dia kemudian merasa level urgensi letusan Kelud masih rendah, balik lagi ke point 1, misalnya dibandingkan dengan Sinabung yang sudah menewaskan belasan nyawa.
Jadi begini, mereka yang butuh bantuan bukan hanya keluarga yang ditinggalkan oleh korban meninggal, tetapi juga puluhan atau ratusan ribu pengungsi. Memakai angka korban meninggal sebagai patokan justru membuat kita kurang fair. Karena bisa saja tidak ada korban jiwa karena warga berhasil dievakuasi ke radius aman sebelum terjadi bencana. Jadi bisa saja di tempat yang korban jiwanya sedikit justru jumlah pengungsinya jauh lebih besar. Dan mereka ini membutuhkan bahan makanan, perlengkapan tidur, perlengkapan mandi, pakaian, pembalut, obat-obatan dan perlengkapan–perlengkapan lainnya terutama untuk bayi/lansia. Dari mana semua itu kalau bukan dari bantuan? So, if you want to help, please do so. No need to wait until someone dies. If you are not sure with what you do, please remember point no.1.

3.   Realize that the victims need long term aids, your donations won’t be wasted
Please bear in mind, para pengungsi ini meninggalkan rumahnya dan sumber penghidupannya (sebagian besar ternak kemungkinan tidak dievakuasi, sawah/ ladang rusak total, rumah rusak parah). Jadi ketika mereka sudah bisa pulang pun, mereka tidak lantas bisa langsung hidup normal seperti biasa. Kabar baiknya, pemerintah dikabarkan akan memberikan bantuan berupa uang harian kepada para korban bencana yang sudah kembali pulang sampai jangka waktu tertentu kehidupan mereka pulih. Dari beberapa berita yang saya baca, hari ini ribuan pengungsi Sinabung mulai diijinkan pulang dan mereka dibekali bahan makanan yang masih tersisa di posko pengungsian seperti beras, minyak goreng, dll.  See? Bekal tersebut lumayan lah ya, bisa menghidupi mereka selama beberapa hari sampai semuanya benar-benar normal kembali. Jadi tidak perlu ragu berkontribusi hanya karena merasa sudah banyak yang menyumbang atau karena takut bantuan kita terbuang sia-sia nantinya. Kalau misalnya ada bantuan menumpuk di posko tertentu pun para relawan akan mencari cara untuk meneruskan ke posko-posko lain yang masih kurang bantuan. Untuk donasi dalam bentuk uang, tidak perlu kecil hati dengan nominal donasi yang bisa kita berikan, sesuaikan saja dengan kemampuan. Seribu, seratus ribu, satu juta, semua itu kontribusi.  Yakin dan berdoa saja bantuan kita bisa meringankan beban di sana.

4.   Be patient and smart regarding your aids/ donations
Mempunyai “link” kawan yang menjadi relawan di posko pengungsian akan sangat membantu mengetahui kondisi real time para pengungsi dan bantuan apa yang dibutuhkan. Tapi harap disadari bahwa para relawan ini di sana bukan hanya ongkang-ongkang “nunggu posko”. Mereka sibuk mondar-mandir, mengurusi ini-itu, mungkin sedang bantu masak di dapur umum, cek kesehatan, ngobrol dengan pengungsi, main dengan anak-anak, telepon ke sana-sini, koordinasi via bbm/ whatsapp/ sms, melakukan apapun yang bisa mereka lakukan untuk meringankan beban di posko. Dan itu seringkali memperlambat respon mereka untuk pertanyaan-pertanyaan kita. Sabar. Hehe... Tidak perlu basa-basi terlalu panjang, ajukan pertanyaan straight to the point, apa prioritas bantuan yang dibutuhkan dan alamat tujuan yang bisa dituju kalau memang mau spesifik disampaikan ke posko yang bersangkutan.
Pengetahuan baru bagi saya, karena saking ribetnya para relawan di posko, bantuan berupa barang lebih cepat berguna dibandingkan uang dalam jumlah yang banyak, sama saja seperti kita yang merasa jauh lebih praktis transfer uang. Jadi kalau kita memang punya waktu dan kesempatan sebaiknya sekalian kita yang belanja dan disumbangkan ke posko dalam bentuk barang. Ingat untuk cek masa kadaluwarsa bahan makanan yang kita beli. Untuk donasi dalam bentuk uang bisa disalurkan melalui rekening resmi dari pusat-pusat bantuan/ satgas yang biasanya dibentuk ketika bencana terjadi dan dipublikasi secara luas.

5. Multiply your donation
Hari gini, update dan distribusi informasi kadang lebih gampang daripada korek-korek kotoran kuping. Kemudahan komunikasi dan sharing info via whatsapp, bbm, twitter, atau path bisa benar-benar bermanfaat dalam kondisi seperti ini.
Dari pengalaman yang sudah terjadi, ketika pengumuman inisiatif untuk mengkoordinasi bantuan di share di satu grup whatsapp, akan ada beberapa orang yang tidak berhenti untuk sekedar ikut menyumbang tetapi mengajak orang-orang di lingkarnya untuk ikut serta. Tidak perlu mikir harus bombardir broadcast atau yang ribet-ribet, mulai saja dari orang-orang terdekat kakak, pacar, teman kantor, dst. Mirip piramida MLM, bayangkan saja misalnya ada 20 orang sebagai tangan pertama, kalau ada 5 orang saja yang mengajak 5 temannya yang lain untuk ikut, sudah berlipat-lipat kan? Gampang tapi sangat berarti buat yang di sana J
Bantuan yang berawal dari satu orang lalu beranak pinak jadi sebanyak ini, senaaaang :) 

6.   Don’t spread hoax, verified any info
Sejak Kamis malam ketika Kelud meletus, banyak sekali foto-foto dramatis beredar di social media yang di klaim sebagai foto erupsi Kelud. PADAHAL BUKAN. Kebanyakan adalah foto dari gunung berapi lain atau foto letusan Kelud yang terdahulu. Fakta bahwa tidak ada warga di radius 10 km, bahkan tim pemantau aktivitas Kelud pun mundur keluar zona bahaya ketika erupsi, memastikan bahwa tidak ada foto erupsi Kelud malam itu yang diambil dari jarak dekat. Parahnya, tidak hanya di social media, ditemukan juga beberapa media massa resmi yang menggunakan foto “bukan Kelud” sebagai ilustrasi berita untuk Kelud.
Yang lebih berbahaya adalah, penyebaran info-info yang membuat panik seperti gempa susulan, gempa “menular” ke gunung berapi lain, dan sejenisnya. It’s mandatory for us to re-check apapun info yang kita dapat. Jangan asal forward, RT, atau repath. Filternya: our logic, if it’s not enough then use our smartphone. Smartly. If you know what I mean.
Jaman sekarang sangat dimaklumi banyak dari kita yang inginnya selalu terdepan dalam informasi, tapi bayangkan bagaimana paniknya dan traumatisnya mereka yang tinggal di Yogya ketika dikabarkan Merapi ikut bereaksi karena letusan Kelud, cuma karena info asal-asalan yang dibuat orang iseng.
Galunggung pastinya beda jauh dengan Kelud ya, dan ini foto tahun......1982. 
Mereka semua ini main twitter, giat sampaikan berita via twitter, tapi terlalu malas untuk intip twit-nya BMKG atau BNBP

Yang kurang ajar parah begini juga ada...

7.   Don’t be too preachy, at first
Mengkuliahi pihak yang sedang terkena bencana alih-alih membantunya bangkit tidak akan memperbaiki kondisi yang ada. Mereka butuh bantuan, bukan justru dibilang kebanyakan maksiat. At least, show your empathy, if you can't say something nice, don't say anything hurt. Kalau misalnya situ naik motor tanpa pakai helm terus jatuh berdarah-darah juga maunya ditolong dulu kan? Atau mau ngloyor sambil bilang “rasain, itu teguran buat kamu karena ga pake helm”? Mengingatkan sesama tentu tidak salah, tapi rasanya lebih bijak kalau mengerti situasi dan kondisi kali yaaa....
Menghubung-hubungkan waktu kejadian dengan angka ayat kitab suci juga kok rasanya agak maksa ya, apalagi berhalusinasi melihat bentuk particular thing/ face di langit ketika peristiwa terjadi dikaitkan dengan cerita-cerita legenda.
Dude, please.