Friday 12 April 2019

WHY I TOOK FEW STEPS BACK FROM INSTAGRAM

TL DR: feeling of guilt and purposeless (would’ve said pointless, but I think it’s beyond that)


Sudah banyak artikel-artikel yang ditulis oleh ex-Instagram influencer yang memutuskan berhenti atau mengurangi aktivitasnya di Instagram karena there’s too much fakery in it and mentally overwhelming. The articles usually mention how they used to take hundreds of photos just for one perfect post or aesthetically arrange their blanket, their hair, and put a no-make-up make up look for one fabulous I-wake-up-like-this pic.
Whenever I stumbled upon this kind of article, I just read it lightly and thought maybe the articles are way more relevant for fellow influencers.

Rasanya sih, toxic atau tidak, fake atau tidaknya tergantung dengan konten apa yang kita follow dan bagaimana kita merespon postingan-postingan tersebut ya...

Well. Until last month.

On early March I posted a picture without any context, nor any story. I wrote caption exactly as what I felt the moment I see the picture. I didn’t think of anything else. I didn’t even have any intention to show people where I was at that moment. I just wanted to post it because it's eyes pleasing, hence insta-worthy. That’s all.
A week later, I posted an Instagram story of my husband assembling a book shelf. Simply because I needed distraction from the agony of menstrual cramp. So, I took a video and did light editing while I lay on my yoga mat because there’s nothing else we have yet inside the house. It worked. The video editing activity helped release the cramp although a little. Then I decided to post it. Just like that.
But of course, the fact that I was suffering from agony didn’t get in framed. The fact that I did that just to entertain myself over the agony wasn’t conveyed in the video.

Kedua posting itu berhubungan dengan rumah yang nanti akan kami tempati, yang mungkin bisa jadi satu cerita blog sendiri betapa sebetulnya pembelian rumah itu melalui pro dan kontra yang sangat panjang dan melelahkan bahkan sampai setelah rumah sudah dibeli. Tapi tentu ngga semua teman-teman Instagram tahu.
Dan berawal dari postingan itu, ada beberapa reaksi dari teman-teman yang sedikit di luar perkiraan saya dan membuat saya mundur sejenak, berpikir dan mengamati.
   
Seperti mungkin kebanyakan orang pada waktu itu, saya buat akun Instagram di tahun 2012 simply just for fun and out of curiosity. Photo editing/ filter app wasn’t a common thing at that time, Instagram maybe the first and the only one for quite some time. 
I didn't follow people that I know personally, friends or family. My thought was this medium is a mean to display “creation” or to look for inspiration from others creators rather than to connect socially, much more like flickr rather than facebook. I used to use the platform as my digital gallery, with curated following, curated pictures, rather than to share pieces of my private life.

Then Instagram is getting bigger and gaining more and more users with different characters. So then came the era of hashtag abusers. The social-seller. The travel-in-style travelers. The photo-manipulator. The insta-story. The selebgram. The “follow back dong”.

Slowly but sure, cara pemakaian Instagram saya pun ikut bergeser seiring dengan berubahnya Instagram menjadi seperti yang ada saat ini. Saya mulai menambahkan teman-teman ke daftar following saya dan tanpa terasa juga jadi lebih aktif, terutama di insta-story. Dan tanpa sadar, makin banyak momen yang sama sekali ngga penting yang, post di story ah...padahal ya kalau dipikir-pikir lagi, buat apa sih...(termasuk video rakit lemari buku).


Dan setelah beberapa lama mengambil waktu berpikir dan mengobservasi, saya sampai pada simpulan:
  1. The “fakery” is indeed there, despite in different intensity from one to anotherIt might be not as intense as hundred takes for one post, but still, it shows only the surface. We never know for sure the real feeling of the poster behind their seemingly happy smile in front of famous world landmark or what in their mind when they pose with their expensive food in luxurious restaurants. It creates illusion that the poster’s must be living a perfectly happy life, while it can be untrue at some point as the background story is not depicted.
  2. We will (not always, but high likelihood) unconsciously, or consciously enough start comparing our life with others and then feel “challenged” to show back our piece of happy life. Be it glorious moment with family, fabulous food, marvelous trip, prestigious conference, happening concert, or good times with friends. In other way, Instagram becomes a tool of self-validation and a battle ground of hey-my-life-is good or i-can-do-it-better before we even realize.
  3. We become so happy over likes or comments (and sad if we don’t get as many as we expected). The number of likes we get over one Instagram post is not “real”, yet we’re craving for it as if it defines how people [followers] like us in person. We become addicted to the need of constant social validation.
  4.  FOMO is getting real. We can’t skip a day without scrolling through feed and opening stories. alas!
Hal-hal di atas sebetulnya sama sekali bukan sesuatu yang baru, tapi bagi saya saat ini terasa seperti sebuah major revelation. Ini bukan sedang bahas orang lain, but it was me reflecting myself in the mirror. Karena itu juga saya lalu memutuskan untuk membuat jarak dengan Instagram.

Sama sekali bukan hal yang mudah untuk menghilangkan adiksi. Dalam kurun waktu enam minggu terakhir, yaitu sejak uninstall pertama kali, saya sudah 4-5x menginstall Instagram, untuk kemudian saya uninstall lagi. Atau colongan buka akun melalui browser. BERAT.
Dan karena itu jadi semakin sadar bahwa adiksi instagram ini memang berbahaya.

Terkadang tergoda untuk mengecek feed tapi setelah install dan scrolling merasa nothing’s really mesmerize me like the way it used to be, like…influencers selling stuffs or a friend listening to certain song on spotify or posting their lunch. So, I have it uninstalled once again.

Ketika tergoda untuk posting, saya sangat berusaha mengerem dengan menanyakan beberapa “feasibility” question ke diri sendiri seperti berikut:
  •   Apakah ada informasi yang bermanfaat untuk orang lain dari postingan ini?
Mostly, jawabannya adalah tidak. Apalah informasi yang bisa ditarik dari foto makan siang, foto saya dengan box-box IKEA, foto bersama teman lama yang teman-teman Instagram saya juga ngga kenal, opini-opini random yang poorly constructed karena saya hanya ingin vent it out, dan lain sebagainya.
Ada sedikiiiiiiit posting yang mungkin bisa bermanfaat, misalnya book review, tapi memang good content need effort and right now I don’t have enough energy to perform the effort. So, yah…purposeless that is.
  • Apakah postingan ini bisa menghibur orang lain? Dalam artian bisa membuat orang tersenyum/ tertawa?
Mungkin bisa. Tapi kalau itu adalah internet material, saya mencoba mengatakan ke diri sendiri bahwa kemungkinan besar orang-orang lain juga sudah melihatnya juga, no need to post it just to look hipster
  • Will I be suffering if I don't post it?
Apparently, I’m just totally fine, safe and sound, somehow even I feel mentally wholler. 
  • Will people be suffering if I DON'T post it?
Biasanya tidak, tapi mungkin justru sebaliknya. Maybe, there'll be people who do "suffer" if I post it. Sekali lagi, curated posting, membuat semua yang terdisplay hanya yang indah-indah. All the rainbows and unicorns. 


Bahkan dengan self-questioning yang berlapis-lapis, masih ada beberapa posting yang "lolos" walaupun tidak memenuhi kriteria di atas. Seems that I just can't control it well, so scary, right?

Seperti saya belajar kembali bagaimana bernapas dengan kesadaran sepenuhnya dengan mindfulness, saya juga ingin menggunakan instagram dengan kesadaran penuh.

Now after all, if you ask me, why should I take this seriously?
I just think that the minutes per day consumed by Instagram is no joke for me and even during first few days of my withdrawal I felt so hardly resist one day without using it. Those sound like solid reason to spend some time to profoundly revisit, rethink and reflect about Instagram real benefit and drawback. Or whether it's really a matter or not.
Only then I can assure that those who don’t matter won’t destruct the existence of what really matters.

I don't stop entirely, but currently I feel the need to find a strong and more purpose-based motivation as the driver, or whatever that is!
So, see ya Instagram?

Sunday 29 April 2018

BEPERGIAN JAUH BERSAMA ORANG TUA (THINGS TO NOTE)

Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Turki beserta suami dan ibu saya. It was a trip dedicated for them, especially for my mom. The reason I took my mom for a trip is simple, she devoted her life for her family, worked very hard but barely enjoy the result, she haven’t been any other part of the world except Mecca for Hajj. The moment triggered me the idea is when I witnessed the beauty of tulips field in Lisse, all by myself. Too beautiful to enjoy it alone. That moment, I said to myself, someday I would take my mom and (then) husband to see what I see.



It was April 2013.

Five years later, they are finally able to see what I’ve seen, at least partly very similar, but instead of Lisse, I took them to Turkey J Selain karena lebih terjangkau dibandingkan ke Belanda (sorry mom!), ada alasan lain yang membuat saya memilih Turki.
Biasanya, saya seringkali sudah terlalu excited ketika melakukan riset travelling, jauh dari sebelum trip itu dimulai. Tapi kali ini berbeda, because my mom will join the trip! Instead of excited, I was VERY NERVOUS. Bunch of thought followed me around approaching the day, what if my mom doesn’t like it, my husband doesn’t like it, my mom got sick, the place is actually just overrated, makanannya kurang enak, cuaca tidak mendukung, dan sebagainya.
Dan ternyataaaa, semua kekhawatiran saya tidak terbukti. So glad and relieve that the trip went MARVELOUS! We went home with a wide smile and bunch of nice memories and stories to share. Dari pengalaman itu saya ingin berbagi beberapa hal yang perlu diingat ketika kita ingin mengajak orang tua berlibur ke tempat yang jauh, semoga bermanfaat!

1.       It’s their trip, not ours
Hal yang paling krusial adalah harus sepenuhnya menyadari dan menerima bahwa the trip is for them. Jadi, mulai dari pemilihan jadwal pesawat, hotel, destinasi, dilakukan untuk menjamin bahwa perjalanan tidak terlalu melelahkan. Saya pilih jadwal pesawat dengan durasi transit terpendek walaupun sangat tergoda dengan tawaran special price Doha city tour dari Qatar Airways untuk transit lebih dari 5 jam. Turki saya pilih karena selain untuk melihat tulip di negara aslinya, kota Istanbul punya banyak cerita bersejarah dari masa kekaisaran Ottoman yang saya yakin akan sangat menarik untuk ibu saya yang suka sejarah. Di dalam itinerary Turki, saya putuskan untuk tidak mengunjungi Istiklal street walaupun saya penasaran karena sepertinya tidak relevan untuk ibu saya dan tidak naik balon udara di Cappadoccia karena tidak memungkinkan untuk ibu saya (I’ll be back for that, haha!). Kalau durasi tripnya panjang, mungkin masih bisa disisipkan destinasi yang cuma untuk kita sementara mereka istirahat di penginapan, tapi kalau singkat sebaiknya fokus saja ke hal-hal yang yang bisa dinikmati. Singkatnya, make them as the center of universe for any decision taken. Kalau poin ini sudah beres, poin-poin berikutnya sebetulnya hanya turunan dari poin pertama ini. Ibaratnya mau kasih kado, harusnya sesuai dengan selera orang yang dikasih kado, bukan selera kita. It’s ridiculous to get something expensive but useless, right?

2.       Understand their interest and focus on that
Tiap orang pasti ada ketertarikan masing-masing ketika travelling, apakah itu makanan, alam pantai, pegunungan, bangunan bersejarah, seni, shopping, atau urban life. Mengetahui ketertarikan mereka penting sekali untuk menentukan tempat tujuan dan menyusun itinerary yang keep appealing day-by day. Sebagai contoh, ibu saya suka membaca dan sangat tertarik dengan sejarah. Kalau melihat suatu bangunan atau monumen, she’ll be very keen to know who built it, why, and how, not just to snap a picture of it she also want to know the story behind it. Untuk memaksimalkan pengalaman yang didapat di Turki, saya memutuskan untuk menggunakan jasa private tour guide dari toursbylocal.com, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Hasilnya, kunjungan ke Haghia Sophia, Istana Topkapi, dan perjalanan di selat Bosphorus menjadi penuh cerita dan local insight. When we were going back to Jakarta I asked my mom what she thinks about this trip, her first word was PUAS! Karena semuanya jadi tahu detail dan lengkap! J J J
So by the way, if you are planning to visit Istanbul and look for a tour guide, find the name Aykut on toursbylocal.com, highly recommended!

3.       Don’t rush, know their fitness & mobility level
Beberapa hari sebelum hari keberangkatan, seorang teman saya berpesan: It’s the time of togetherness that matters for your mom, not just the destination, so if eventually you have to stay at hotel room because of some reason, just be it and enjoy. Kalimat itu saya ingat terus sepanjang perjalanan. Kita mungkin bisa tahan long haul flight easily, but as they are getting older everything can be completely different. Jadi saya menahan diri untuk tidak melakukan ambitious travelling dengan terlalu banyak destinasi dan membuat itinerary tidak terlalu rigid, kalau-kalau ibu saya hanya mau leyeh-leyeh saja karena capek. My mom is 65 during this trip and still actively mobile, jadi saya hanya perlu memperhatikan intensitas jalan kaki dan toilet break. Gladly, seperti layaknya kota-kota di Eropa, banyak seating group di Turki. Sebelum berangkat saya pastikan juga alas kaki yang dipakai ibu saya nyaman untuk dipakai jalan kaki lama, she tried my running shoes and she liked it! Di kondisi yang berbeda mungkin bisa dipertimbangkan untuk membawa wheelchair portable so our elderly parents can still enjoy the trip without forcing their old bones too hard. 

4.       Food: eat for life not the otherwise
Bepergian ke tempat yang jauh berarti kita harus berhadapan dengan makanan yang berbeda dari yang kita makan sehari-hari. Harus diingat bahwa metabolisme dan sensitivitas orang tua kita mungkin sudah berbeda dengan kita-kita yang masih muda. Makanan-makanan yang terlalu tajam atau terlalu aneh sebaiknya dihindari. Selain itu untuk menjaga mood, perlu diperhatikan juga soal: selera. I eat almost everything and always want to taste the local food although sometimes end up I don’t really like it. Sebaliknya, suami dan ibu saya picky eater dan lebih suka cari aman. Our pick for first meal in Istanbul was: omelet for mom, lamb kebab for husband, and pide (sejenis pizza) for me. Biasanya tempat makan di tempat sekitar tempat wisata punya menu yang universal seperti omelet pasta, hamburger, atau sandwich. Kalau memang picky eater, bisa pesan makanan-makanan “aman” seperti itu, tidak perlu dipaksakan harus makan makanan lokal just for the sake of getting local taste. Atau lebih aman lagi bisa membawa makanan dari tanah air yang awet dan gampang diselipkan di tas untuk dibawa selama jalan-jalan, seperti abon, sambel sachet, atau teri kacang dan bisa cari penginapan yang ada dapurnya (banyak tersedia di Airbnb).

5.       Always. Check. The. Weather.
Saya pernah menggigil kedinginan di Alkmar karena terlalu yakin cuaca akan cerah seperti hari sebelumnya because it’s spring already, saya hanya pakai outer seadanya dan ternyata hari itu hujan. Menghindari hal seperti itu, saya mengecek cuaca dan suhu di Istanbul setiap hari sejak dua-tiga minggu sebelum keberangkatan, so we know what to prepare. Apalagi cuaca tidak menentu di berbagai belahan dunia, yang harusnya musim semi malah turun salju, bahkan di Indonesia masih sering hujan walaupun sudah masuk April. Selain cek suhu, setiap sesi stalking di Instagram saya juga mengamati outfit yang dipakai, apakah perlu coat, parka, atau wind breaker saja cukup. Sekali lagi because of their age, our parents endurance to weather might be different with us so the concern is doubled. 

6.       Kondisikan and be happy, no matter what!
Pernah punya teman yang grumpy atau bad mood di perjalanan dan jadi merusak suasana hati semua orang? Avoid it at all cost, because mood is contagious, let’s just pick good! We can be the “motor” yang memastikan spirit positif perjalanan tetap terjaga. Ibu saya surprisingly get over excited melihat karpet tulip yang menurut saya biasa saja compare to the tulip filed in Lisse, dan saya memilih ikut-ikutan excited berfoto ria instead of saying things like ah ini sih biasa banget, ngga ada apa-apanya, jadi excitement ibu saya tetap ter-maintain. Mood dan excitement juga bisa dikondisikan dari sebelum keberangkatan. About two weeks prior, I regularly texted my mom few interesting facts about the places we’re going to visit as teaser. Misalnya, di Istana Topkapi nanti bisa lihat pedang Nabi Muhammad dan tongkat Nabi Musa, kita nanti ke bangunan megah bekas gereja yang jadi masjid dan sekarang jadi museum, kita nanti akan lihat selat di antara benua Asia dan Eropa. Info-info trivia itu berhasil membuat ibu saya sangat bersemangat dan looking for that during the trip. Tak lupa sebelum berangkat saya wanti-wanti suami saya juga “nanti selama di sana, kalaupun kamu nggak happy, tolong pura-pura happy dulu ya, biar mood semuanya tetap bagus J”. Cara ini sepertinya cukup ampuh, my mom was excited the whole trip I wonder where she get the energy from and my husband was very supportive through all the challenges we faced during the trip, yeayy!



Dengan enam poin di atas, kami melalui perjalanan 5 hari 4 malam di Turki dengan sukses. Saya pribadi pulang dengan perasaan senang, puas, dan lega karena semuanya berjalan dengan lancar dan obyektif utamanya, make a memorable moment for my mom, tercapai!

Ressurection

Well, hello!
It's been almost four years since my last post! A lot of things happen in real life, I finished my study, went back to Indonesia, got a job, got married (yeay), now in searching for a house (haven't found it yet, hiks).
I actually wrote some pieces stored as draft in 2016 but find a little bit difficult to find time to finish my writing as I focus more on corporate life and my new family. But it's my husband who actually encourage me to write again, so hopefully I can re-activate this blog and my urge to write some post!
So this is it: renyagustine.blogspot.com RESSURECTION!