Tuesday 15 March 2011

Berbeda Itu Bukan Noda

Mendengar lagu-lagu Guns and Roses dari tetangga depan rumah, tiba-tiba saya ingin menulis ini. Diawali tentang saya dan mungkin nanti menyangkut kita semua.

Pertama, jangan ragukan ”pengetahuan” saya soal lagu-lagu Guns and Roses. Saya fasih menyanyikan November Rain di kelas 3 SD. Tentu dengan lirik yang asal ucap yang penting nadanya pas :) . Saya juga tahu hampir semua album mereka, yang gambar spaghetti, yang ada seri I dan seri II, atau yang greatest hits. 
Di kelas 3 SD itu, saya juga sudah ‘menguasai’ The Power of Love-nya Celine Dion. Masih di kelas 3 SD, saya sudah akrab dan hafal (ini pasti!) dengan Here There and Everywhere, Bicycle, Angie, Kolam Susu, Bongkar, Rindu Lukisan, Pulau Seribu, sampai Kerontjong Moristko (semoga betul penulisannya). HAHA! Kalau diteruskan bisa semakin random...

Dari mana saya bisa mengenal musik lintas genre itu? Well, saya anak terakhir dari 4 bersaudara. Beda umur dengan kakak saya yang termuda 5 tahun dan 10 tahun dengan yang paling tua. Ayah saya semasa mudanya adalah anak band yang sepertinya gaul kalau dilihat dari foto-fotonya. Ibu saya, entah saya tidak tahu dari mana belajarnya, jago setengah mati baca not tanpa sedikitpun pitchy. Well, saya pernah iseng kasih partitur lagu yang saya yakin belum pernah sekalipun beliau dengar, hanya akan di’coba-coba’ sebentar...daan...tadaaa...she sings! *ngiri* Ketiga kakak saya, semua bisa bernyanyi. Setidaknya tak ada suara sumbang kalau kami serumah bernyanyi bersama.

Masing-masing di rumah, punya selera musik yang cukup berbeda satu sama lain. Mungkin karena pengaruh gender, jaman, dan juga tekanan pergaulan. 

Ayah                       : The Beatles, Iwan Fals, Koes Plus, Queen, Rolling Stones
Ibu                          : lagu-lagu keroncong dan lagu-lagu nostalgia lokal 
Kakak I (cewek)       : Celine Dion, Mariah Carey, Bryan Adams, Boys 2 Men, Roxette
Kakak II (cowok)    : Guns and Roses, Slank, Nirvana, Metallica, Sepultura, Iron Maiden (sungguh saya ga tahu yang mana lagu Iron Maiden, tapi ada posternya di kamar kakak saya ini)
Kakak III (cewek)    : kakak yang ini agak kurang dominan selera musiknya, saya ragu dia dulu suka apa ya…hmmm, sepertinya era-era Boyzone dan Shania Twain

Dan dulu, di rumah ada radio tape plus tumpukan kaset segala macam aliran. Rutinitas saya setiap hari kira-kira sebagai berikut : pagi-pagi bersiap sekolah dengan iringan lagu Koes Plus, pulang sekolah saya leha-leha sebentar, kira-kira 1 jam kemudian siang hari akan terasa semakin maksimal panasnya oleh Guns & Roses, sampai saya ketiduran, terbangun di sore hari karena suara Tetty Kadi atau Ernie Djohan, break sebentar dari ashar sampai lewat maghrib, kemudian belajar sambil sayup-sayup ditemani Bryan Adams.

Mungkin terdengar istimewa bagi sebagian orang atau biasa saja bagi sebagian yang lain. Tapi yang pasti buat saya, ini sesuatu yang sederhana tapi berharga.

Mengapa?

Karena saya jadi setidaknya terbiasa menyikapi perbedaan. Belum tentu saya mengerti makna yang serius tentang perbedaan, tapi bisa terbiasa saja menurut saya sudah menjadi bekal yang cukup. Ilustrasi yang cukup panjang di atas mungkin hanya hal remeh temeh soal selera musik. Tapi saya bayangkan kalau sepanjang masa kecil, remaja, dan ABG saya hanya diisi musik-musik yang homogen, mungkin telinga saya tidak akan sepeka kalau saya dengarkan musik dari berbagai genre. Efek positif lainnya, saya jadi tidak mudah mencibir selera musik orang lain hanya karena berbeda dengan selera saya.
Menurut saya, ”selera” itu tidak bisa disalahkan. Kalau sudah menyangkut urusan selera, urusan baik atau tidak tentu beda parameternya. Seperti apa musik yang bagus, tentu ada teorinya, dan semua akan bermuara pada ide yang sama. Tapi, seperti apa musik yang enak didengar, penggemar total metal hampir pasti akan beda ’paham’ dengan penggemar blues, penggemar jazz mungkin tak akan sepaham dengan penggemar punk.
Masih menurut saya, yang tidak sepaham itu tidak perlu harus dijadikan sepaham terlebih dulu agar bisa kompak. Tanpa mengorbankan paham masing-masing yang berbeda, tiap jenis musik tetap bisa berkolaborasi. Tentu saja dengan toleransi.
Masih menurut saya lagi, paham yang sedikit peminatnya, tidak perlu merasa insecure atau merasa eksklusif. Sebaliknya, paham yang dominan juga tidak perlu berlagak sok kuasa dengan mencibir dan menindas yang kecil-kecil tadi.

Semua itu masalah selera dan percaya.
Tidak perlu menjadikan beda seperti noda yang harus dicuci bersih hingga jadi satu warna seragam.
Jadikan beda sebagai pola yang memperkaya apa yang kita punya.
Ini masih menurut saya, bagaimana menurut kalian? :) 

picture taken from: http://myscienceblogs.com/