Meletusnya Gunung Kelud beberapa hari lalu
membuat saya belajar banyak hal tentang bagaimana sebaiknya bersikap ketika
terjadi bencana. Saya sendiri tidak merasakan secara langsung, tetapi banyak
keluarga dan teman-teman saya tinggal di Kota dan Kabupaten Kediri, sekitar
30-40 km dari Kelud. Mereka pun (syukurlah) bukan merupakan korban langsung
yang harus mengungsi, tetapi mereka ikut terkena dampak cukup parah karena
lontaran kerikil dan pasir. Iya, kerikil dan pasir. Bukan abu.
Trust me, it’d make the whole things significantly
different once the disaster happens to your hometown.
Mungkin terdengar klise atau “ya
iyalah, menurut ngana?”...ya ternyata saya baru benar-benar merasakan
bedanya. Saya sedih, bersimpati, dan berusaha membantu sebisa saya ketika
terjadi tsunami Aceh, Merapi meletus, banjir Manado, atau Sinabung meletus. Tapi
saya masih bisa tidur nyenyak. Ketika hal serupa terjadi di Kelud, saya tidak
lagi sedih tapi panik setengah mati, tegang, khawatir jadi satu. Selalu
memantau berita dan update informasi sekecil apapun. Kalau kalian nonton Harry
Poter, ada potongan scene ketika Harry, Ron, Hermione sembunyi dari Death Eater
dan Ron selalu tegang fokus pada berita di radio untuk memastikan keluarganya
baik-baik saja. Ya kira-kira seperti itu deh.
Karena Kelud pula, saya jadi lebih peka
dengan reaksi orang-orang lain. Sebagian menyenangkan, ada juga yang agak
ganggu. There it goes, I share my point of view:
1. Do help them, or shut up
Beberapa kali saya dengar komentar yang membandingkan
antara bencana di sini dan di sono. Bagaimana seharusnya sikap yang diambil
Presiden, bagaimana proporsi media memberitakan keduanya, ke mana sebaiknya
bantuan disalurkan, beeeeeermacam-macam. Familiar dengan kalimat seperti:
"Pak SBY responnya lemot banget deh di Sinabung padahal udah sampe kaya
gitu, padahal dulu di Merapi...dekat sama kampungnya kali ya...dll". Well,
daripada sinis menganalisis ini-itu, mendingan tenaganya disalurkan untuk
membantu yang menurut kita perlu dibantu. Kalau di sono dirasa kurang perhatian
dan di situ sudah berlimpahan atensi, ya silakan ulurkan tangan bantu yang di
sono tanpa perlu mencibir mereka yang membantu di situ. Mungkin juga toh
mereka-mereka yang dicibir itu malah membantu di mana-mana. If we can't say something nice, don't say anything at
all. So, just help, otherwise just shut up.
2. Don’t be too critical but less thoughtful
Be critical is good, but I guess we agreed that
nothing good comes with ‘too’. Sehari setelah Kelud meletus, ada seorang teman
yang bertanya “sudah ada korban jiwa belum?”. Saya jawab BELUM DAN
SEMOGA TIDAK ADA. Newsflash: dia kemudian merasa level urgensi letusan Kelud
masih rendah, balik lagi ke point 1, misalnya dibandingkan dengan Sinabung yang
sudah menewaskan belasan nyawa.
Jadi begini, mereka yang butuh bantuan bukan
hanya keluarga yang ditinggalkan oleh korban meninggal, tetapi juga puluhan atau ratusan ribu pengungsi. Memakai angka korban meninggal sebagai
patokan justru membuat kita kurang fair. Karena bisa saja tidak ada korban jiwa karena warga
berhasil dievakuasi ke radius aman sebelum terjadi bencana. Jadi bisa saja di
tempat yang korban jiwanya sedikit justru jumlah pengungsinya jauh lebih besar.
Dan mereka ini membutuhkan bahan makanan, perlengkapan tidur, perlengkapan
mandi, pakaian, pembalut, obat-obatan dan perlengkapan–perlengkapan lainnya
terutama untuk bayi/lansia. Dari mana semua itu kalau bukan dari bantuan? So,
if you want to help, please do so. No
need to wait until someone dies. If
you are not sure with what you do, please remember point no.1.
3. Realize that the victims need long term
aids, your donations won’t be wasted
Please bear in mind, para pengungsi ini meninggalkan
rumahnya dan sumber penghidupannya (sebagian besar ternak kemungkinan tidak
dievakuasi, sawah/ ladang rusak total, rumah rusak parah). Jadi ketika mereka
sudah bisa pulang pun, mereka tidak lantas bisa langsung hidup normal seperti
biasa. Kabar baiknya, pemerintah dikabarkan akan memberikan bantuan berupa uang
harian kepada para korban bencana yang sudah kembali pulang sampai jangka waktu
tertentu kehidupan mereka pulih. Dari beberapa berita yang saya baca, hari ini
ribuan pengungsi Sinabung mulai diijinkan pulang dan mereka dibekali bahan
makanan yang masih tersisa di posko pengungsian seperti beras, minyak goreng,
dll. See? Bekal tersebut lumayan lah ya, bisa menghidupi mereka selama
beberapa hari sampai semuanya benar-benar normal kembali. Jadi tidak perlu ragu berkontribusi hanya karena merasa
sudah banyak yang menyumbang atau karena takut bantuan kita terbuang sia-sia
nantinya.
Kalau misalnya ada bantuan menumpuk di posko tertentu pun para relawan akan
mencari cara untuk meneruskan ke posko-posko lain yang masih kurang bantuan.
Untuk donasi dalam bentuk uang, tidak perlu kecil hati dengan nominal
donasi yang bisa kita berikan, sesuaikan saja dengan kemampuan. Seribu, seratus ribu, satu juta, semua itu
kontribusi. Yakin
dan berdoa saja bantuan kita bisa meringankan beban di sana.
4. Be patient and smart regarding your aids/
donations
Mempunyai “link” kawan yang menjadi relawan di posko
pengungsian akan sangat membantu mengetahui kondisi real time para pengungsi dan bantuan apa yang
dibutuhkan. Tapi harap disadari bahwa para
relawan ini di sana bukan hanya ongkang-ongkang “nunggu posko”. Mereka sibuk mondar-mandir, mengurusi
ini-itu, mungkin sedang bantu masak di dapur umum, cek kesehatan, ngobrol dengan
pengungsi, main dengan anak-anak, telepon ke sana-sini, koordinasi via bbm/
whatsapp/ sms, melakukan apapun yang bisa mereka lakukan untuk meringankan
beban di posko. Dan itu seringkali memperlambat respon mereka untuk
pertanyaan-pertanyaan kita. Sabar. Hehe... Tidak perlu basa-basi terlalu
panjang, ajukan pertanyaan straight to the point, apa prioritas bantuan yang dibutuhkan dan
alamat tujuan yang bisa dituju kalau memang mau spesifik disampaikan ke posko
yang bersangkutan.
Pengetahuan baru bagi saya, karena saking ribetnya
para relawan di posko, bantuan berupa barang lebih cepat berguna dibandingkan uang dalam jumlah yang banyak, sama saja
seperti kita yang merasa jauh lebih praktis transfer uang. Jadi kalau kita
memang punya waktu dan kesempatan sebaiknya sekalian kita yang belanja dan
disumbangkan ke posko dalam bentuk barang. Ingat untuk cek masa kadaluwarsa
bahan makanan yang kita beli. Untuk donasi dalam bentuk uang bisa disalurkan
melalui rekening resmi dari pusat-pusat bantuan/ satgas yang biasanya dibentuk
ketika bencana terjadi dan dipublikasi secara luas.
5.
Multiply your donation
Hari gini, update
dan distribusi informasi kadang lebih gampang daripada korek-korek kotoran
kuping. Kemudahan komunikasi dan sharing info via whatsapp, bbm, twitter, atau path
bisa benar-benar bermanfaat dalam kondisi seperti ini.
Dari pengalaman yang sudah terjadi, ketika pengumuman inisiatif
untuk mengkoordinasi bantuan di share di satu grup whatsapp, akan ada beberapa
orang yang tidak berhenti untuk sekedar ikut menyumbang tetapi mengajak
orang-orang di lingkarnya untuk ikut serta. Tidak perlu mikir harus bombardir
broadcast atau yang ribet-ribet, mulai saja dari orang-orang terdekat kakak, pacar, teman kantor, dst. Mirip
piramida MLM, bayangkan saja misalnya ada 20 orang sebagai tangan pertama, kalau
ada 5 orang saja yang mengajak 5 temannya yang lain untuk ikut, sudah berlipat-lipat
kan? Gampang tapi sangat berarti buat yang di sana J
|
Bantuan yang berawal dari satu orang lalu beranak pinak jadi sebanyak ini, senaaaang :) |
6. Don’t spread hoax, verified any info
Sejak Kamis malam ketika Kelud meletus, banyak sekali
foto-foto dramatis beredar di social media yang di klaim sebagai foto erupsi
Kelud. PADAHAL BUKAN. Kebanyakan adalah foto dari gunung berapi lain atau foto
letusan Kelud yang terdahulu. Fakta bahwa tidak ada warga di radius 10 km,
bahkan tim pemantau aktivitas Kelud pun mundur keluar zona bahaya ketika
erupsi, memastikan bahwa tidak ada foto erupsi Kelud malam itu yang diambil
dari jarak dekat. Parahnya, tidak hanya di social media, ditemukan juga beberapa
media massa resmi yang menggunakan foto “bukan Kelud” sebagai ilustrasi berita
untuk Kelud.
Yang lebih berbahaya adalah, penyebaran info-info yang
membuat panik seperti gempa susulan, gempa “menular” ke gunung berapi lain, dan
sejenisnya. It’s mandatory for us to re-check
apapun info yang kita dapat.
Jangan asal forward, RT, atau repath. Filternya: our logic, if it’s not enough then use our smartphone.
Smartly. If you know what I mean.
Jaman sekarang sangat dimaklumi banyak dari kita yang
inginnya selalu terdepan dalam informasi, tapi bayangkan bagaimana paniknya dan
traumatisnya mereka yang tinggal di Yogya ketika dikabarkan Merapi ikut
bereaksi karena letusan Kelud, cuma karena info asal-asalan yang dibuat orang
iseng.
|
Galunggung pastinya beda jauh dengan Kelud ya, dan ini foto tahun......1982. |
|
Mereka semua ini main twitter, giat sampaikan berita via twitter, tapi terlalu malas untuk intip twit-nya BMKG atau BNBP |
|
Yang kurang ajar parah begini juga ada... |
7. Don’t be too preachy, at first
Mengkuliahi pihak yang sedang terkena bencana
alih-alih membantunya bangkit tidak akan memperbaiki kondisi yang ada. Mereka butuh bantuan, bukan justru dibilang kebanyakan
maksiat. At least, show your empathy, if you can't
say something nice, don't say anything hurt. Kalau misalnya situ naik motor
tanpa pakai helm terus jatuh berdarah-darah juga maunya ditolong dulu kan? Atau
mau ngloyor sambil bilang “rasain, itu teguran buat kamu karena ga pake helm”?
Mengingatkan sesama tentu tidak salah, tapi rasanya lebih bijak kalau mengerti
situasi dan kondisi kali yaaa....
Menghubung-hubungkan waktu kejadian dengan angka ayat
kitab suci juga kok rasanya agak maksa ya, apalagi berhalusinasi melihat bentuk
particular thing/ face di langit ketika peristiwa terjadi dikaitkan dengan
cerita-cerita legenda.
Dude, please.